Rabu, 12 Oktober 2011

EYD

Kesalahan Ejaan




Ada beberapa jenis ‘kesalahan’ ejaan. Yang pertama, adalah TYPE kesalahan pengetikan ynag sering terjadi karena tidak sinkron-nya otak dan jari.
Kedua, mungkin bukan kesalahan (karena disengaja), dan jadi trend di kalangan anak muda saat ini.

Contoh diambil dari status di jejaring sosial:




mdah”n qw bsa mnGpai cmw xG qHu inGn kn n cmw hRapn oRg” xG qHu cXk…!!!
n mmbwt mrEka BhGia n bnGga…!!!
atau yang ini:
mkCh ya smua X bgi yG udH bRie uCpAn k’qHue,,,,,
moGa kliAn smUa shaT slalU
mf kloo g bSa blS sTu”
 Yang ketiga, kesalahan ejaan karena tidak sesuai kaidah bahasa. Untuk bahasa Indonesia, sudah ada Pedoman EYD atau Ejaan Yang Disempurnakan sebagai tempat untuk mengadu dan mencari pembenaran. Kesalahan ini lebih disebabkan oleh faktorignorance; ketidaktahuan.

Ejaan baku masih sangat diperlukan, setidaknya di tiga ranah: pemerintahan, pendidikan, dan jurnalisme. Bahasa yang dipakai di Undang-undang, buku pelajaran, dan media cetak, idealnya menggunakan bahasa yang baik dan benar. Alasannya? Karena mereka akan dibaca seluruh orang di Indonesia! Mereka pedoman, penunjuk jalan.
selain di ketiga ranah tersebut atau media tulis tak resmi, para penulis bebas menuliskan kata-katanya.

EYD dalam karya sastra sangat di perlukan karena Sastra tidak sekadar apa yang ingin disampaikan, tapi juga bagaimana cara menyampaikannya. Seorang penulis diakui hebat di dunia sastra umumnya bukan karena faktor teknis seperti tata bahasa dan ejaan; ia diakui karena tulisannya berhasil menggugah dunia.
Dalam teori kompetensi bahasa, ada yang disebut grammatical competence, yaitu kemampuan mengenali dan menghasilkan struktur gramatikal tertentu dan menggunakannya secara efektif dalam komunikasi. Grammatical competence lebih bersifat teknis; hanya membahas aturan pada level kalimat, dan mengurusi hal-hal ‘kecil’ seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Lebih luas lagi, ada discourse competence, yaitu bagaimana merangkai kalimat-kalimat sehingga menghasilkan wacana yang kohesif sekaligus koheren. Kohesif berarti tulisan yang dihasilkan memiliki ‘benang merah’ yang memadukan tulisan tersebut sehingga tidak tercerai-berai, sedangkan koheren berarti tulisan yang dihasilkan merupakan wacana yang ‘masuk akal’, tidak sekadar kumpulan kalimat yang tidak jelas juntrungannya (nonsensical).
Disadari atau tidak, textual/discourse competence lebih banyak berperan dalam menghasilkan karya sastra yang menarik untuk dibaca. Saya bukan penikmat sastra kelas berat, tetapi menurut saya, novel yang menarik umumnya setidaknya memiliki jalan cerita yang kuat benang merahnya, dan makna yang mendalam, yang bahkan bisa mempengaruhi pikiran dan perasaan pembacanya.
Lalu, apakah dengan demikian tata bahasa serta merta dapat diabaikan? Mungkin kita perlu melihat apa yang disampaikan dalam tulisan ini:
A lot of writers try to skip over the basics and leap fully-formed out of their own head-wombs. Bzzt. Wrongo. Learn your basics. Mix up lose/loose? They’re/their/there? Don’t know where to plop that comma, or how to use those quotation marks? That’s like trying to be a world-class chef but you don’t know how to cook a goddamn egg. Writing is a mechanical act first and foremost. It is the process of putting words after other words in a way that doesn’t sound or look like inane gibberish.
Kalau boleh saya berpendapat, ada baiknya memang, seorang sastrawan juga didampingi oleh seorang editor (atau biasanya memang demikian?). Sastrawan bertugas mengelaborasi ide dan menghasilkan karya, sementara editor mengurusi hal-hal remeh-temeh yang tak layak dikerjakan oleh seorang sastrawan besar. Win win solution kan?
Bagi sebagian orang mungkin iya. Bagi sebagian lagi, ada yang namanya style, identity, dan ego. Ketiganya merujuk ke diri si penulis sendiri; bahwa tulisan yang dihasilkannya adalah hak prerogatif dirinya. Jadi apapun yang ia hasilkan, sudah melalui proses ‘editing’ di dalam pikirannya sendiri. Orang lain dilarang ikut campur; boleh mengritik seperti apapun, tetapi karyanya tetap tidak boleh diutak-atik. Untuk karya sastra, saya cenderung lebih senang kalau si penulis mau taat pada EYD, meskipun kalaupun tidak, toh tidak akan berpengaruh terlalu besar pada ide hebat yang ingin disampaikannya. Akan tetapi, untuk peraturan, buku teks, dan surat kabar, tata bahasa adalah harga mati!

Sumber:

http://amed.wordpress

Tidak ada komentar:

Posting Komentar