Jumat, 20 April 2012

kasus pertahanan dan keamanan nasional


Kongkalikong Kepolisian

TEMPO.CO, Jakarta - Kabar tak sedap di sekitar jual-beli Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) terus berembus. Sumber Tempomenyebut komisi jual-beli SIPI untuk kapal yang beroperasi di Laut Cina Selatan mencapai US$ 4.000-5.000 per bulan. Untuk Laut Arafura, Papua, fee bisa tiga kali lipatnya. Tiap kapal rata-rata melaut delapan bulan. Artinya, pemilik SIPI mendapat US$ 40 ribu atau sekitar Rp 390 juta per tahun.

Bau anyir kecurangan tersebut rupanya terendus kepolisian. Awal Oktober lalu, Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia sudah mengirim surat kepada para bos perusahaan penangkapan ikan. Surat bernomor B/199/X/2011/Tipidter tersebut diteken Direktur Tindak Pidana Tertentu Brigadir Jenderal Anas Yusuf.

Lewat surat itu, polisi meminta direktur perusahaan melaporkan dokumen sebagai syarat mendapat SIPI, antara lain deletion of certificate (DC) atau surat penghapusan dari daftar negara asal kapal dan risalah lelang eks kapal perusahaan asing. “Bareskrim mencium ada yang tak beres,” kata sumber tadi.

Sumber Tempo menduga, sesungguhnya Bareskrim sejak lama mengetahui praktik “main sabun” dalam pembuatan SIPI. Bareskrim tahu kapal-kapal tersebut milik orang asing dan tidak memiliki DC. “Namun, sepertinya perkara ini mau diselesaikan secara 'adat',” ujar si sumber, akhir pekan lalu.

Badan Reserse, menurut dia, sudah membentuk tim pemeriksa sehingga tidak tertutup kemungkinan bakal ada pengusaha yang dikorbankan. Banyak pengusaha yang memiliki DC palsu pun terancam pidana. “Supaya tidak masuk penjara, ya, mereka harus setor uang,” kata sumber ini.

Anas Yusuf tidak dapat dimintai konfirmasi terkait praktik pemeriksaan yang dilakukan institusinya. Namun, juru bicara kepolisian Komisaris Besar Boy Rafli Amar menegaskan, pengusaha harus melaporkan dugaan pemerasan tersebut. “Catat namanya dan laporkan. Akan kami proses secara hukum,” ujar Boy.

Merajalelanya nelayan asing mencuri ikan di perairan Indonesia tak lepas dari penyelewengan izin pengadaan kapal yang terjadi secara sistematis. Penerbitan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) sebanyak 2.000 alias 2.000 kapal baru dalam dua tahun saja mestinya sudah memantik curiga. Sampai tahun ini ada 6.000 SIPI yang beredar. “Itu permainan luar biasa,” kata sumber Tempo akhir pekan lalu.

Agar dapat beroperasi di perairan Nusantara, pengusaha asing menggandeng pemain lokal yang berpura-pura mengimpor kapal. Padahal, uang pembelian dari kantong rekanan asingnya sehingga kapal tetap milik warga asing, meski berbendera merah-putih.

Dengan rekayasa itu, pengusaha Thailand dan Vietnam bebas beroperasi di Laut Cina Selatan. Nelayan Cina menguasai Laut Arafura. Sementara perairan di sekitar Manado menjadi daerah kekuasaan nelayan Filipina. Hasil tangkapan mereka tak pernah didaratkan di pelabuhan Indonesia, tapi dibawa kabur dengan cara memindahkan ke kapal lain yang lebih besar di perairan internasional.

Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) memantau beberapa modus penyalahgunaan izin. Lembaga tersebut menemukan ada oknum Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sengaja menjualbelikan sejumlah izin, misalnya izin impor kapal asing. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), SIPI, Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), juga dijual tanpa mengikuti prosedur yang benar. Aparat Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap seperti tutup mata atas praktik tersebut.

Ketua FP4N Ivan Rishky Kaya menunjuk salah satu temuannya April lalu, yaitu PT Sumber Laut Utama, perusahaan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon, belum memiliki Unit Pengolahan Ikan (UPI). Padahal, sesuai dengan aturan, untuk mendapat SIUP, SIPI, dan SIKPI, perusahaan wajib memiliki UPI.

Ketika hal ini terbongkar, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Dedy Heryadi Sutisna malah bertanya apakah Sumber Laut sudah memiliki unit pengolahan. “Pertanyaan yang aneh karena yang meneken izin adalah Dirjen,” katanya.

Deddy membantah ihwal penyalahgunaan izin ini. “Itu salah semua,” kata dia ketika dihubungi pada Jumat, pekan lalu. “Coba tanyakan kepada Pak Tyas,” ujarnya merujuk kepada Direktur Pelayanan Usaha Tyas Budiman.

Tyas mengatakan Sumber Laut sebelumnya memiliki unit pengolahan di Jambi, kemudian dipindahkan ke Tual, Ambon. “Sumber Laut berdiri sebelum muncul Peraturan Menteri Tahun 2008 yang menyebutkan industri perikanan terpadu wajib membangun UPI dan atau bekerja sama dengan UPI lain,” ujarnya. Padahal, tanggal pendirian perusahaan lazim pula dimainkan dengan diundurkan ke belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar