Rabu, 18 April 2012

Salah Satu Penyimpangan Dalam Prinsip Implementasi Wawasan Nusantara Dalam Bidang Ekonomi


Disebutkan dalam salah satu prinsip implementasi wawasan nusantara dalam bidang ekonomi yaitu 
"Kekayaan di wilayah nusantara, baik potensial maupun efektif, adalah modal dan milik bersama bangsa untuk memenuhi kebutuhan di seluruh wilayah Indonesia secara merata."
terkadang tidak sesuai dengan realita yang ada, contohnya di Indonesia Rata-rata sumberdaya alamnya tidak sedikit yang di monopoli oleh orang-orang yang bukan berasal dari wilayah yang terdapat sumberdaya alamnya. Bahkan banyak yang berasal dari luar Indonesia.

Bukan hanya pengelolaan SDA saja yang banyak di ambil alih oleh pihak luar, akan tetapi masalah juga timbul dari dalam Indonesia yang di sebabkan pengelolaan yang tidak efisien dan asal asalan.
misalnya saja masalah Energi.

Krisis energi yang selama ini digembar-gemborkan sesungguhnya bukan karena persediaan energi yang tidak cukup. Atau pun cadangan persediaan energi yang tinggal sedikit. Melainkan karena pengelolaan energi nasional yang kurang baik. Mengapa begitu? Jawabannya, karena sumber persediaan dan hasil energi di dalam negeri ini dijual ke luar negeri secara masif dan membabibuta. 
Hasil energi Indonesia dijual dengan murahnya tanpa memedulikan kebutuhan dan keamanan pasokan energi di dalam negeri. Padahal, kita tahu di dalam negeri sedang terjadi kelangkaan pasokan BBM dan krisis listrik. Selain itu harganya pun sangat mahal begi rakyat miskin.

Ketika rakyat kesulitan mendapat hasil energi baik minyak, gas, batu bara, maupun listrik, pemerintah dan pengusaha malah seenaknya mengekspor bahan-bahan tersebut ke luar negeri. Alasannya, karena harga komoditas tersebut sedang melejit di pasar global.

Pemerintah lebih memilih menjualnya ke luar negeri, ketimbang di dalam negeri yang harganya jauh di bawah pasar internasional. Padahal kita tahu banyak rakyat miskin di negeri ini yang sangat membutuhkan minyak, gas, dan listrik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan penerangan.

Inilah kenyataan paradoks di tengah kelimpahan sumber daya alam (SDA) rakyat kecil malah letih mengantre mendapatkan seliter minyak tanah atapun antre gas! Hal ini membuat kita semua jadi prihatin dan sekaligus bingung! Mengapa bingung? Sebab, sepertinya kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut tanpa ada tindakan konkret dari pemerintah untuk memperbaikinya, termasuk memperbaiki nasib rakyat kecil.

Sebagai pemegang monopoli tata kenegaraan, khususnya di bidang energi, pemerintah sesungguhnya wajib untuk memperbaiki nasib rakyat yang lebih baik. Pemerintah seharusnya menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat seperti minyak, gas, maupun listrik. Masih banyak masyarakat di daerah-daerah terpencil yang kesulitan dalam mengakses listrik. Bahkan di sejumlah wilayah tertentu sama sekali belum teraliri listrik, karena baik alat pembangkit maupun transmisi untuk mengaliri listrik belum ada.

Sejauh ini masyarakat di wilayah-wilayah terpencil menggunakan cara-cara konvensional untuk menciptakan energi baik listrik maupun untuk memasak dan keperluan lainnya. Beruntung bagi masyarakat yang di daerahnya terdapat sumber air yang banyak seperti air terjun dan sungai. Karena, mereka bisa menciptakan energi yang berasal dari air atau mikrohidro. Namun, bagi masyarakat yang di daerahnya krisis sumber energi atau bahkan sama sekali tidak ada, mereka harus mencari ke tempat lain yang terdapat sumber energi. 

Akibat kebijakan energi nasional yang serabutan itulah menyebabkan krisis energi hampir di banyak wilayah di Nusantara. Begitu ngawurnya kebijakan energi oleh pemerintah. Sampai-sampai Indonesia harus mengimpor minyak dari luar negeri karena di dalam negeri sendiri kekurangan minyak! Bahkan, kita telah menjadi net importir komoditi tersebut. Dan, yang lebih mencengankan lagi pemerintah tidak langsung membelinya ke produsen minyak. Melainkan pemerintah membelinya melalui pasar spot (calo minyak) seperti membelinya ke Singapura.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa pengelolaan energi nasional begitu lemah dan bodoh? Apakah ada intervensi asing yang mendorong pemerintah melakukan ini? Apakah ada kekuatan-kekuatan di dalam negeri seperti para pengusaha tambang dan batu bara yang menekan pemerintah, yang menginginkan untung besar tanpa harus membayar pajak?

Ataukah ada aksi para spekulan seperti yang selama ini diwacanakan oleh pemerintah, para pakar, dan juga para produsen besar minyak dunia? Ataukah pemerintah yang tidak tahu cara mengelola energi yang benar?

Pertanyaan-pertanyaan di atas menggugah kita bahwa sesungguhnya memang ada yang salah dalam pengelolaan energi nasional selama ini. Namun, pertanyaan yang paling akhir di atas merupakan faktor yang paling kuat dalam menyumbang krisis energi di dalam negeri. Apa sesungguhnya yang salah dalam pengelolaan energi kita? Baik, kita bedah letak kesalahan tersebut satu per satu.

Pertama, kebijakan energi oleh pemerintah tidak lagi sesuai dengan amanat dan cita-cita proklamasi maupun UUD 45.
Kedua, pemerintah terlalu mengistimewakan investor maupun pengusaha asing melalui UU PMA hasil amandemen UUD yang keempat.
Ketiga, terkait dengan sistem kontrak karya, eksplorasi dan pengolahan sumber energi yang kurang menguntungkan bagi kepentingan nasional.
Keempat, adanya oknum pemerintah yang menjadi komprador kepentingan asing yang sering menghubungkan kepentingan pengusaha baik lokal maupun asing yang merugikan kepentingan nasional.
Kelima, aksi menimbun BBM maupun gas dan menyelundukannya secara ilegal ke luar negeri baik yang dilakukan oleh swasta maupun pemerintah. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1-3, secara umum menegaskan bahwa segala sesuatu yang berhubugan dengan hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.

Dalam hal ini pemerintah wajib memakmurkan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Pada pasal ini sesungguhnya pemerintah telah melanggar UUD. Yaitu, sumber energi kita sebagian tidak lagi dikuasai oleh pemerintah, melainkan berada dalam penguasaan asing. Kendati banyak juga pengusaha lokal yang bergerak di bidang-bidang tertentu di energi, namun secara kuantitas dan kualitas tidak terlalu berpengaruh signifikan bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan asing.

Seluruh kekayaan alam kita malah digerus dan dibawa oleh pihak asing. Pemerintah justru tidak mampu menjamin ketersediaan energi bagi kebutuhan di dalam negeri sendiri. Sehingga, ketahanan energi nasional menjadi sangat lemah. Sehingga, kita tidak memiliki daya tawar di dunia internasional. 

Melalui UU Penanaman Modal Asing hasil amandemen, pihak asing dapat lebih leluasa dan lebih lama mengeksploitasi sumber kekayaan alam Indonesia tanpa harus dipusingkan dengan retribusi atau kompensasi yang berarti bila terjadi kerusakan alam. Padahal, ketika awal-awal republik ini berdiri, pihak asing hanya boleh mengelola sumber daya alam Indonesia tidak lebih dari 35 tahun.

Namun, dengan UU PMA yang baru ini pihak asing dapat mengeksploitasi sumber kekayaan alam Indonesia hingga 95-100 tahun lamanya. Itu pun belum jelas tanggungjawab sosial perusahaannya  (Corporate Social Responsibility) terhadap masyarakat sekitar yang di daerahnya terdapat kegiatan eksplorasi sumber-sumber energi.

Selama ini paling-paling perusahaan hanya mengeluarkan 2% dari CSR dari jumlah keuntungan yang sangat besar, yang diperoleh perusahaan atas eksplorasi dan eksploitasi SDA kita. Belum lagi Sistem Kontrak Kerja Sama antara pemerintah dengan para pengusaha lokal maupun asing selama ini disinyalir terjadi penyelewengan baik oleh pengusaha maupun pejabat pemerintah sendiri.

Penyelewengan itu terkait masalah cost recovery atau pengembalian seluruh biaya operasi para kontraktor migas yang sebagiannya merupakan perusahaan asing. Banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya produksi migas seharusnya menjadi tanggungan masing-masing pengusaha kontraktor migas, malah dibebankan dan menjadi tanggungan  pemerintah.

Meski cost recovery cenderung naik dari tahun ke tahun, tetapi produksi dan lifting minyak dalam negeri justru berbalik arah mengalami penurunan. Masalahnya, sejumlah kontraktor cenderung menggelembungkan cost recovey, atau banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya operasional migas tapi dikleimkan ke pemerintah.

Beberapa kerugian dari cost recovery yang dikleim ke pemerintah di antaranya ialah, biaya pelatihan ekspatriat, biaya konsultan pajak, biaya merger, biaya-biaya yang terkait dengan pemasaran, pengembangan masyarakat, maupun kegiatan kehumasan.

Karut-marutnya masalah cost recovery ini ditenggarai oleh keterlibatan oknum pejabat pemerintah sendiri, yang juga berkolaborasi dengan pemain-pemain asing dan lokal. Dalam hal ini oknum tersebut juga merupakan bagian dari para Kontraktor Kontrak Kerja Sama, yang tentunya tak ingin rugi dan hanya mau untung besar.

Oleh sebab itu sampai saat ini belum ada tindakan pembenahan di sektor tersebut. Bobroknya pengelolaan energi nasional seakan diperparah lagi oleh aksi liar penyelundupan migas ke luar negeri melalui saluran-saluran resmi maupun yang tidak resmi.

Ada beberapa pulau terluar Indonesia yang menjadi jalur penyelundupan BBM melalui pipa-pipa yang terpasang di bawahnya, yang disalurkan ke kapal-kapal tanker untuk kemudian di bawa lari ke luar negeri. Tindakan ini bukan tanpa diketahui oleh pemerintah, melainkan secara legal hasil energi tersebut dijual dengan harga yang murah. Sementara hasil keuntungan tidak masuk ke kas negara yang kemudian bisa dinikmati oleh semua rakyat Indonesia.

Berangkat dari persoalan di atas, maka tepatlah kalau dikatakan bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan energi nasional. Energi dikelola secara tidak benar dan asal-asalan. Oleh karena itu ke depan pengelolaan energi tidak bisa lagi dijalankan secara serampangan dan sektoral.

Pengelolaan energi harus terencana dan terpadu, dengan mengindahkan tahapan-tahapan tertentu misalnya, pemetaan penyebaran, kebutuhan dan konsumsi energi per wilayah secara komprehensip. Pengelolaan energi harus didasari atas prinsip keterbukaan / transparansi dan akses yang seluasnya terhadap masyarakat. 

Menteri BUMN Dahlan Iskan menyampaikan, sejak jaman dahulu di era Soekarno (Presiden RI pertama) hingga saat reformasi ini, SDA banyak dikuasai asing.

"Nasionalisasi aset ? Silakan tanya ke pengusaha-pengusaha migas sana, sudah sejak jaman Soekarno asset dikuasai asing," katanya usai acara talk show bertema Pemimpin Muda, Belajar Merawat Indonesia di kampus UGM Yogyakarta, Kamis (29/3/2012).

Banyak pengusaha khususnya Migas tidak mau menggelola asset SDA Indonesia karena terkendala modal. Selain itu, resiko dalam menggelola juga sangat besar.

"Yang saya ketahui dari pengusaha-pengusaha migas kita, mereka tidak ingin berinvestasi menggelola itu karena biaya dan resiko besar," jelasnya. 

Sementara, pemerintah sudah memberikan kebebasan untuk berinvestasi di beberapa sektor, termasuk Migas. Pemerintah sendiri tidak bisa bekerja tanpa ada kerja sama dengan investor, baik investor asing maupun pribumi.

Sebaiknya pemerintah lebih jeli dalam hal Investasi, karena jika di biarkan maka akan semakin banyak pihak asing yang mengambil alih pengelolaan SDA, karena dalam prinsip wawasan nusantara "Kekayaan di wilayah nusantara, baik potensial maupun efektif, adalah modal dan milik bersama bangsa untuk memenuhi kebutuhan di seluruh wilayah Indonesia secara merata.". Agar penduduk mendapatkan haknya tanpa campur tangan pihak luar.



 Sumber:

Okezone.com
http://www.fkdpm.org/artikel/137-paradoks-negeri-kaya-energi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar